Skip to main content

Posts

Ulasan buku “Au Loim Fain” karya Romi Perbawa

“Au Loim Fain”  atau  “Aku Ingin Pulang”  adalah kata-kata terakhir Adelina Sau, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Desa Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pada usia yang sangat belia, Adelina meregang nyawa di Malaysia, akibat siksaan majikannya.     Kematian Adelina yang tragis dan begitu menyesakkan itu -sayangnya- menjadi gambaran kebanyakan pekerja migran Indonesia di negeri-negeri asing. Romi Perbawa menyadari hal itu. Ia ingin menyebarkan kesadaran itu ke khalayak. Ia juga ingin memberi gambaran, bagaimana orang-orang terkasih di seputar para pekerja migran itu begitu terdampak, misalnya saja anak-anak mereka.      Dalam pengantarnya, Romi mengatakan, alasan utamanya menerbitkan buku ini adalah memperjuangkan kehidupan yang sehat dan pendidikan yang baik bagi anak-anak pekerja migran. Oleh karena itu, buku yang merupakan pengembangan dari workshop buku foto bersama Teun van der Heijden dan Sandra van der Doelen di JIPFest (Jakarta International Photo Festival) 2019
Recent posts

Catatan yang Sentimental tentang ‘Manusia, Gunung, dan Laut’

catatan: Tulisan ini saya buat untuk kawan saya Rony Zakaria yang beberapa waktu sebelum buku fotonya Man, Mountain and Sea terbit, meminta saya untuk memberi tanggapan atas karyanya itu.  Bolehlah jika saya disebut sebagai melodramatik atau desperately romantic , saya sungguh tidak percaya ada yang kebetulan. Bagi saya semuanya adalah rangkaian kisah yang serba ajaib dan terkadang tidak bisa dijelaskan. Pasti ada maksudnya. Termasuk pertemuan saya dengan Rony beberapa waktu lalu di Jogja.  Saya yakin, yang kemarin itu bukan sebuah kebetulan. Dan benar, rupanya pertemuan itu adalah awal dari sebuah kerja penulisan. Ketika itu Ronny membawa soft copy bakal bukunya berjudul Man, Mountains and the Sea . Foto-foto hitam putih itu langsung memukau saya. Rasanya seperti ada yang begitu familiar. Rasa akrab yang muncul ketika saya melihat laut dan gunung. Rasa rindu pada yang tak berbatas,  juga tak terjangkau, termasuk juga rasa asing pada sesuatu yang misteri dan tak terduga. Dan ini a

Selfie itu Piknik

Siapa yang tidak mati rasa jika setiap hari ‘dihujani’ oleh ribuan gambar. Gambar-gambar yang   akhirnya   menjadi cermin bagi yang melihat. Cermin tentang yang ideal dan tentang yang tidak. Apalagi gambar-gambar itu adalah beraneka wajah milik beragam manusia dengan senyum merekah bahagia.  Bukankah kita selalu bercermin pada yang lain?  Dan ketika cermin-cermin itu berhamburan, sangat wajar jika kita jadi limbung dan tersesat. Seperti si Narcissus versi interpretasi ulang McLuhan yang saya kutip dari The Allure of the Selfie ditulis oleh Brooke Wendt ; Narcissus, he reminds us, means numbness, which he results from viewing one’s reflection as a form of misrecognition. In contrast to the common understanding of the Narcissus myth, McLuhan observes that Narcissus did not fall in love with himself; rather he was numb to his image and could not recognize his reflection as his own. Narcissus thought his image was that of another. For example, when we unexpectedly encounter ourselves in a

Memotret Eksotisme Dengan Empati

Catatan:  *Tulisan ini saya tulis untuk dimuat di Destin Asia edisi Juli-September 2019.  *Tulisan di blog ini adalah versi sebelum diedit oleh saya karena harus memenuhi batas kuota halaman dari Destin Asia, serta diedit kembali oleh Editor in Chief Destin Asia.  Kamera adalah medium yang ‘penuh dengan risiko’. Medium ini bisa membentuk realitas, dan   pada beberapa kesempatan bisa “mengusik kenyataan orang lain.”   “To photograph people is to violate them,...” kata Sontag dalam bukunya, On Photography . [1] Ketika kita memotret orang lain (semesta yang lain), berarti kita sedang, atau sudah mengganggu mereka, atau -mungkin saja- melanggar batas-batas privasi mereka.    Tindakan memotret juga mampu mengubah subjek yang kita foto menjadi objek, dan secara simbolik apa yang kita potret itu menjadi milik kita. “...it turns people into objects that can be symbolically possessed. [2] Yang kita potret itu menjadi beku, dan tersimpan dalam kamera kita. Memotret juga mampu

Tamasya "Ngeng" Dalam Lautan Gambar

Setiap hari kita melihat dan mengalami puluhan, bahkan ribuan gambar. Kita diserbu oleh gambar-gambar yang memadati ruang hidup tanpa bisa mengelaknya. Gambar-gambar itu akhirnya menjadi realitas kita sehari-hari. Yang nyata adalah yang ada di lautan gambar itu. Yang nyata adalah rentetan gambar di televisi, majalah, dunia daring, atau yang tertempel di jalanan. Serangan ribuan gambar itu menjadi hal yang lumrah, kita melihat, kemudian menyerapnya dalam kesadaran, namun sayangnya banyak dari kita lama-kelamaan menjadi bebal. Makna tidak lagi terlihat dalam gambar-gambar itu. Beberapa diantaranya terkadang lepas dari konteksnya, ia tidak berarti, ia menjadi sampah. Sama seperti hidup. Hidup sejatinya adalah sebuah rentetan gambar bergerak dengan segala dinamikanya. Terkadang beberapa bagiannya kehilangan makna. Kita terlalu sibuk, terlalu cepat, dan tidak benar-benar menikmati. Kita lupa bertamasya. Akibatnya, hidup sekedar menjadi rutinitas yang harus mau tidak mau- kita jalani. Te

Membangun Jembatan, Mendobrak Mitos

­­­­­­­­­­­ pengantar Sehari sebelum pertemuan dengan seluruh tim residensi Cemeti Institut, Linda, Direktur Cemeti Institut, menghubungi saya via WA. Linda mengajak saya untuk bertemu dan membicarakan sesuatu. Saya belum mengenal Linda ketika itu. Linda berkata, ia mengenal saya dari seorang kawan, serta melihat tulisan-tulisan saya melalui mesin pencari google. Antara rasa penasaran, was-was, serta sedikit excited, saya pun bertemu Linda. Ia menawari saya untuk ikut berpartisipasi dalam proses residensi sebagai seorang pengamat. Ia berharap, saya bisa menuliskan amatan saya selama proses residensi berlangsung. Tentu ini mengagetkan. Sontak diajak terlibat dalam sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh salah satu institusi seni bergengsi di Jogja. Apalagi saya tidak pernah bergumul dengan Cemeti. Saya pun belum pernah benar-benar terlibat dalam sebuah proses kekaryaan para seniman kontemporer. Pengetahuan saya amat terbatas tentang dunia ini. Paling-paling cuma menjadi penont